Banyak jawara yang telah lahir di seni bela mixed martial arts (MMA), terutama di promotor yang paling terkenal, Ultimate Fighting Championship (UFC). Diantara para juara tersebut, ada beberapa fighter yang dianggap layak dilabeli GOAT (Greatest of All Time) atau terbaik sepanjang masa. Sebenarnya tidak ada rumusan atau kriteria pasti yang dapat menentukan siapa GOAT MMA. Cara yang paling umum digunakan oleh para penggemar MMA dalam menilai ke-GOAT-an adalah dominasi fighter selama ini di dalam oktagon. Beberapa nama yang pantas untuk memegang gelar GOAT antara lain Mighty Mouse Demetrious Johnson, The Lioness Amanda Nunes, The Spider Anderson Silva, Jon “Bones” Jones, dan yang terakhir dan sangat terkenal di Indonesia, The Eagle Khabib Nurmagomedov.
Jones dan Khabib sering dianggap paling layak dilabeli gelar GOAT. Sayang nama Jones dalam beberapa tahun belakangan mulai pudar, terlebih lagi setelah beberapa kali kena sanksi U.S. Anti-Doping Agency (USADA) atas dugaan penggunaan doping. Di sisi lain, Khabib malah bisa pensiun di puncak karirnya dengan rekor tak terkalahkan, tidak pernah berdarah, dan tidak pernah bermasalah dengan doping. Oleh karena itu mayoritas penggemar MMA mengakui Khabib sebagai petarung MMA terbaik sepanjang masa. Menariknya, jika kita menanyakan siapa GOAT MMA kepada Khabib, dia hampir pasti akan menyebut Georges St-Pierre (GSP), petarung MMA yang dia dan Abdulmanap Nurmagomedov ayahnya kagumi. Siapa GSP ini hingga begitu dikagumi Khabib, Sportnesia.com akan mengulasnya.
Perkenalan dengan Bela Diri
Georges St-Pierre lahir pada 19 Mei 1981 di Saint Isidore, Quebec, Kanada. Sebagai anak yang culun saat kecil, ia kerap menjadi korban bully di sekolah. Maka itu dia belajar bela diri Kyokushin karate untuk dapat membela dirinya. Bakatnya dalam bela diri sudah terlihat sejak usia 12 tahun, dimana ia sudah berhasil menyandang sabuk hitam. Setelah remaja, St-Pierre memperoleh gelar sarjana jurusan kinesiology di CEGEP Edouard Montpetit. Perjuangan GSP untuk meraih gelar sarjana tersebut tidaklah mudah. Pada saat itu dia belum menjadi seorang atlet MMA profesional dengan penghasilan berlimpah. St-Pierre harus bekerja keras untuk membayar biaya hidup dan kuliahnya dengan bekerja sebagai pekerja dinas kebersihan dan penjaga keamanan di sebuah klub malam di Montreal.
Kemenangan Royce Gracie pada UFC 1 pada tahun 1993 silam membuka mata banyak praktisi beladiri termasuk GSP, bahwa MMA merupakan bela diri masa depan. Tak ingin hanya menjadi karateka, St-Pierre akhirnya mantap belajar Muay Thai dan Brazilian Jiu Jitsu. Lantaran pada saat itu belum ada tempat pelatihan yang memadai di Kanada, dia harus melakukan perjalanan selama 7,5 jam hampir setiap hari dari Montreal ke New York hanya untuk berlatih. Segala pengorbanan dan kerja keras GSP tidak sia-sia. Sejak debut pertamanya di promotor TKO Major League MMA pada 25 Januari 2002, tidak ada satu pun lawan yang mampu mengalahkan pemahaman ground game GSP. Semua lawannya di TKO yang terkena takedown keok karena ground and pound (GnP) yang GSP lancarkan.
Bayaran St-Pierre di TKO saat itu tak seberapa karena MMA pada masa awal 2000-an masih belum sepopuler sekarang. Apalagi promotor tersebut berlokasi di Kanada, yang kita ketahui bersama bukanlah negara kiblat MMA. Demi menambah penghasilannya dari MMA, St-Pierre secara kreatif memanfaatkan tato temporer di badannya untuk jadi papan sponsor. Beruntung aksi gemilangnya di TKO membuat tertarik presiden UFC Dana White, sehingga dia diberi kesempatan debut di UFC 46 melawan Karol Parisian pada 31 Januari 2004. Bermodal rekor sempurna tak terkalahkan di TKO dalam lima pertarungan, debut St-Pierre di UFC membuka matanya akan level kompetisi yang jauh lebih tinggi. Kemenangan lewat lewat unanimous decision atas Parisian tak langsung membuatnya jumawa.
Awal Sukses di UFC
Setiap pertarungan berikutnya yang dilalui di UFC membuat GSP tumbuh sebagai petarung yang lebih baik. Di pertandingan keduanya bersama UFC, ia berhasil mengalahkan Jay Hieron melalui TKO di ronde pertama. Dana White pun melihat potensi luar biasa St-Pierre dan menganggapnya sebagai masa depan kelas welterweight UFC. Tak mengagetkan bila pertandingan ketiganya di UFC 50 pada 24 Oktober 2004 adalah perebutan sabuk juara welterweight yang lowong melawan mantan juara welterweight saat itu, Matt Hughes. GSP saat itu berusia 23 tahun dengan rekor 7-0, sementara Hughes berada di usia prime 31 tahun dengan rekor 35 kemenangan dan 4 kekalahan. Sayangnya George Saint Pierre harus menderita kekalahan pertamanya melalui armbar di detik terakhir ronde pertama.
Tiga bulan berselang GSP kembali ke Kanada untuk mempertahankan gelar juara welterweight TKO-nya melawan Dave Strasser. Dia berhasil mengakhiri pertarungan terakhirnya di TKO itu dengan teknik kimura. GSP lalu balik ke UFC dan memulai perjalanan sebagai fighter MMA welterweight terbaik sepanjang masa. Para fighter hebat dia hadapi, seperti Frank Trigg, Sean Sherk, dan sang legenda BJ Penn, orang pertama yang berhasil merebut sabuk juara UFC welterweight dari Matt Hughes. Pertarungan St-Pierre dan BJ Penn di ronde pertama memang dimenangkan oleh BJ Penn. Namun St-Pierre menunjukkan mental juara pada ronde kedua dan ketiga, di mana ia berhasil mendominasi pertandingan dan memenangkan pertarungan tersebut melalui split decision.
Juara UFC Welterweight
Akhirnya saat yang dinanti-nanti oleh St-Pierre tiba pada UFC 65, 18 November 2006. Dia sekali lagi akan bertanding melawan Matt Hughes, satu-satunya petarung yang pernah mengalahkannya dalam laga ulangan perebutkan sabuk welterweight UFC. Pertarungan kedua mereka sangat berbeda dengan dua tahun sebelumnya. Kali ini GSP jauh lebih siap dengan skill yang makin komplet untuk menjadi pemenang. Bahkan di ronde pertama St-Pierre hampir berhasil menang jika saja Matt Hughes tak diselamatkan bel ronde telah usai. Memasuki ronde kedua, GSP berhasil mengakhiri pertandingan setelah head kick yang dia lancarkan ke kepala Hughes melesat dengan mulus sampai KO. Georges St-Pierre pun untuk pertama kalinya dinobatkan sebagai juara UFC welterweight.
UFC 69 pada 7 April 2007 menjadi salah satu momen bersejarah bagi UFC, terutama bagi St-Pierre sendiri. Bagi kalian yang pernah mengikuti pertandingan bela diri pasti sempat merasakan perasaan was-was, cemas, dan takut sebelum bertanding. Hal itu yang dirasakan GSP jelang pertarungannya di UFC 69 melawan Matt Serra. Rasa takut dan cemas hingga membuat tidak bisa tidur sebelum pertandingan itu diungkapkan St-Pierre dalam sebuah wawancara podcast Joe Rogan pada bulan Mei 2018 lalu. St-Pierre mengaku hari itu adalah satu-satunya momen dia merasa cemas sebelum bertarung. Georges St-Pierre yang dianggap banyak orang sebagai masa depan UFC Welterweight pun harus menelan kekalahan yang sangat mengejutkan di ronde pertama melalui TKO dari Matt Serra.
Memendam rasa tidak puas, kecewa, dan marah pada dirinya sendiri, GSP mengubah pola latihannya dengan cara yang tidak biasa. Ia mencari para ahli bela diri dan kebugaran terbaik di dunia untuk mengembangkan tubuhnya. St-Pierre memastikan bahwa semua otot dalam tubuhnya terlatih dengan baik, bahkan hingga ke ujung jari. Setelah melewati dua partai kemenangan melawan Josh Koscheck dan rival lamanya Matt Hughes, GSP berkesempatan rematch dengan Matt Serra untuk kembali rebut sabuk UFC Welterweight. Pertandingan ulang melawan Matt Serra dalam gelaran UFC 83 itu dilakukan pada 19 April 2008 di kampung halamannya, Montreal, Kanada. Total pembelian pay-per-view pertarungan tersebut mencapai 530 ribu USD, jumlah yang sangat luar biasa untuk ukuran UFC saat itu.
Semakin Tak Terkalahkan
Baca juga:
St-Pierre pun berhasil mewujudkan harapan para penggemar di kampung halamanya dengan kemenangan yang gemilang. GSP tidak mendapat perlawanan berarti dalam rematch-nya melawan Matt Serra. Wasit menghentikan pertandingan pada detik-detik terakhir ronde kedua setelah melihat Matt Serra tidak mampu membalas atau menangkis serangan lutut bertubi-tubi St-Pierre ke bagian rusuk lawannya. Setelah kemenangan tersebut, George St-Pierre melanjutkan rekor title defense UFC welterweight terbanyak sepanjang sejarah. Ia berhasil mengalahkan semua lawannya dengan sangat dominan dan digadang-gadang sebagai salah satu fighter welterweight terbaik pada masa itu. Iya anda tidak salah dengar, saat itu GSP dianggap sebagai salah satu petarung welterweight terbaik.
George St-Pierre tidak jadi satu-satunya petarung MMA kelas welterweight terbaik lantaran pada masa itu ada fighter welterweight di promotor lain (Strikeforce) yang juga sangat dominan saat melawan lawan-lawannya seperti dia. Seorang petarung jalanan yang berhasil mengukir namanya hingga panggung dunia, dia adalah Nick Diaz. Meskipun hanya pernah bertemu di oktagon satu kali di sepanjang kariernya, para fans MMA selalu menganggap bahwa rival abadi dari seorang George St-Pierre adalah Nick Diaz. Rivalitas keduanya memang didukung dengan latar belakang yang saling melengkapi karena bertolak belakang. George Saint Pierre adalah seorang petarung MMA yang rapi, sopan, dan terpelajar. Dan di sisi lain, Nick Diaz adalah fighter yang urakan, cuek, dan besar dari jalanan.
Dalam rentetan gemilang pertarungan mempertahankan gelar welterweight-nya, salah satu pertarungan yang paling diingat penggemar adalah partai rematch melawan BJ Penn pada UFC 94, 31 Januari 2009. Meski berhasil menang tipis melalui split decision dalam pertemuan pertama mereka tiga tahun sebelumnya, BJ Penn bukanlah contender sembarangan. Usai kalah dari St-Pierre pada 2006, BJ Penn turun ke kelas lightweight dan berhasil menjadi juara di kelas tersebut. Dia berambisi jadi double champ pertama dalam sejarah UFC bila berhasil kalahkan GSP. Namun, St-Pierre adalah sosok fighter yang memiliki level jauh berbeda di antara fighter lainnya. Meskipun BJ Penn mencoba keras, St-Pierre berhasil mengalahkannya setelah memberikan gempuran brutal selama 4 ronde penuh.
Tak Jadi Lawan Nick Diaz
St-Pierre tidak pernah merasa puas dengan kemampuannya. Ia selalu mencari ahli dari masing-masing bela diri. Selain berguru dengan pelatih jenius utamanya, Firas Zahabi, St-Pierre juga belajar kemampuan tinjunya dari Freddie Roach, pelatih sang legenda hidup juara 8 divisi tinju Manny Pacquiao. Untuk Brazilian Jiu-Jitsu, St-Pierre merekrut John Danaher, seorang yang dianggap jenius di dunia BJJ. GSP dikagumi banyak orang juga karena kerendahan hatinya untuk selalu belajar dari siapapun. Bayangkan saja, menyandang title juara dunia, ia tetap ingin belajar bahkan dari Joe Rogan, yang sebenarnya seorang komentator MMA. Menurut St-Pierre, Rogan memiliki teknik spinning back kick atau dwi chagi cantik berkat old school taekwondo yang pernah Rogan pelajari dulu.
Selanjutnya, mari kita bahas perseteruan antara George St-Pierre dan Nick Diaz yang disebut-sebut sebagai rival terbesar antara keduanya. GSP dan Nick dijadwalkan bertarung di UFC 137 yang digelar pada 29 Oktober 2011. Dana White kala itu melihat potensi keuntungan yang besar dari pertandingan mereka. Tak pelak dia tak ragu menyiapkan konferensi pers yang mewah dan meriah untuk mempromosikan pertandingan tersebut. Namun sayangnya Dana luput memperhitungkan Nick yang terkenal kerap berbuat sesuka hati. Pada konferensi pers promosi UFC 137, Nick tidak muncul sama sekali. Dana sangat kecewa dengan sikap Nick Diaz yang tidak bertanggung jawab tersebut. Akhirnya Dana mencabut hak pertandingannya melawan George St-Pierre.
Menariknya, jelang UFC 137 bukan hanya Nick Diaz yang mengalami masalah, St-Pierre juga cedera ACL saat latihan yang membuatnya harus menjalani operasi dan pemulihan selama 10 bulan. Selama St-Pierre menjalani pemulihan, Carlos Condit berhasil merebut sabuk juara interim UFC welterweight dari Nick Diaz pada UFC 143, 4 Februari 2012. Setelah pulih dari cedera, GSP kembali ke Oktagon untuk mempertahankan sabuk juara UFC welterweight-nya. Saat itu kebanyakan orang khawatir St-Pierre tak akan kembali ke performa terbaiknya usai cedera. Namun di ronde pertama pertandingan, George berhasil merobek kepala Condit dengan sikutannya yang memukau. George St. Pierre pun berhasil memenangkan pertandingan dan kembali menjadi juara UFC welterweight yang tak terbantahkan.
Rampungkan Misi Tertunda
UFC 158 pada 16 Maret 2013 adalah pertarungan George St. Pierre melawan Nick Diaz yang ditunggu-tunggu. St. Pierre sadar keunggulan Nick pada volume serangannya, sehingga ia tidak membiarkan pertarungan stand-up. Nick Diaz pun kesulitan mengatasi takedown tiada henti yang dilakukan oleh St. Pierre, termasuk ground and pound setelah George mendapatkan posisi yang dominan atasnya. Nick terus mencoba memancing emosi dengan trash talk, namun GSP tetap tenang hingga akhirnya pertandingan berakhir dengan kemenangan St. Pierre. Sudah lebih dari satu dekade berlalu, St. Pierre mengaku masih sedih sampai kini tidak bisa berteman dengan Nick Diaz. Ia juga merasa kasihan bahwa Nick Diaz harus pensiun di usia muda karena desakan dari komisi atlet.
Usai mengalahkan Diaz, pada tahun yang sama St. Pierre harus mempertahankan gelar lagi di UFC 167 melawan Johny Hendricks. Sejak lonceng tanda dimulainya pertandingan, semua orang menyaksikan kejadian yang tidak biasa, St. Pierre yang biasanya digdaya malah didominasi oleh penantangnya. George menerima banyak serangan telak di kepala yang membuat wajahnya luka berlumuran darah. Di sisi lain, Hendrix tidak terluka sama sekali dan terlihat segar sepanjang pertandingan. Ketika lonceng berakhirnya pertandingan dibunyikan, Hendricks dan timnya merayakan kemenangan. Namun kenyataannya secara mengejutkan dan kontroversi hanya satu dari tiga juri yang memenangkan Hendricks. Dua juri lainnya merasa St. Pierre lah yang memenangkan pertarungan tersebut.
Dalam pidatonya usai pertarungannya melawan Hendricks, St. Pierre mengumumkan pensiun sementara dari MMA yang membuat Dana White sangat marah. Bagaimana tidak, GSP adalah bintang MMA terbesar dan aset berharga UFC saat itu. Dana tidak akan membiarkan St. Pierre pergi begitu saja tanpa sempat pamit ke UFC. GSP sendiri memiliki alasan kuat untuk rehat, yakni sebagai bentuk protes terhadap UFC yang tidak berikan sanksi pada atlet-atlernya yang diduga menggunakan doping. Akhirnya Dana White mengakui alasan George masuk akal lalu era USADA di UFC pun dimulai. Sejak itu ada beberapa atlet yang ketahuan pakai doping. Banyak atlet yang sebelumnya dominan seolah kehilangan kemampuannya setelah kedatangan USADA, termasuk salah satunya Johnny Hendricks.
Double Champ Lalu Pensiun
Setelah empat tahun absen, St. Pierre kembali ke oktagon. Namun kali ini ia tidak berlaga di kelas welterweight, melainkan middleweight alias mengincar double champ. Nama besarnya membuat St. Pierre dapat privilege untuk langsung title shot memperebutkan sabuk UFC middleweight melawan Michael Bisping di UFC 217, 4 November 2017. _Press conferenc_e pertarungan GSP vs Bisping menjadi salah satu yang paling menarik dan menggelitik. Kita semua tahu St. Pierre adalah petarung paling sopan di UFC, hampir tidak pernah menggunakan kata-kata kasar atau trash talk kepada lawannya. Saat konferensi pers, Bisping terus mencoba menjual pertandingan dengan tingkahnya yang konyol dan terus melecehkan St. Pierre, namun GSP hanya membalasnya dengan tersenyum.
Menjadi double champ UFC tidaklah mudah, hanya segelintir fighter yang berhasil meraihnya. Bahkan striker jenius Israel Adesanya pun tidak mampu mencapai hal tersebut saat dia dikalahkan Jan Błachowicz ketika coba satukan gelar UFC Middleweight dan Light Heavyweight pada UFC 259, 6 Maret 2021 silam. St. Pierre berhasil tidak hanya meraih prestasi ini, tetapi juga berhasil melakukannya setelah absen selama empat tahun penuh. Di malam UFC 217 itu, St. Pierre memperlihatkan bahwa ia tidak kehilangan sentuhan meskipun telah lama absen, bahkan kita bisa melihat evolusinya sebagai seorang petarung. Setelah mendaratkan hook kiri ke dagu Bisping, George melanjutkan dengan serangan ground and pound lalu mengakhiri pertarungan dengan rear neck choke (RNC).
Sayangnya hal yang dilakukannya empat tahun lalu kembali terjadi, usai pertandingan St. Pierre umumkan pensiun yang kali ini untuk selamanya. Pensiunnya GSP kala itu membuat partai impian banyak orang antara Khabib melawan St. Pierre pun kandas. Dalam wawancara dengan Joe Rogan pada April 2021 lalu, St. Pierre mengaku Khabib adalah sosok lawan yang bisa membuatnya kembali turun ke oktagon. Namun, St. Pierre mengatakan bahwa momen untuk melawan Khabib telah terlewatkan, setidaknya tiga tahun sejak saat itu (2021). Sementara Khabis sendiri dalam sebuah wawancara dengan salah satu podcaster Russia mengakui bahwa hanya ada satu lawan yang akan membuatnya kembali ke oktagon, bahkan saat ia sudah berusia 50 tahun, yaitu George St. Pierre.